“Panji Amabar Pasir”: Sebuah Catatan dari Ruang Singgah

Panji Amabar Pasir di Omahkebon Guest House, 29-30 November 2013 | Foto: Pieter Andas
Oleh:
Gunawan Maryanto

Sejumlah Ruang dan Peristiwa
Di sebuah gubug seseorang menembang Jawa, seseorang menari dengan topeng Panji dan seseorang yang lain lagi—di level paling rendah—bergerak memainkan sebuah topeng yang masih terbungkus kain merah. Beberapa obor menyala menerangi gubug itu. Lelaki yang menembang duduk bersila di tengah gubug, seperti seseorang yang tengah berdoa. Ia menembangkan petikan-petikan syair dari Serat Wedhatama dan beberapa pupuh dari serat yang lain. Syair-syair yang akrab. Peristiwa itu berlangsung sementara waktu. Tak ada pertumbuhan dramatik. Peristiwa itu berlangsung dalam satu situasi yang tetap, mapan dan lembam. Seperti sebuah pengantar pertunjukan yang dingin—pidato pembukaan yang datar. Jagat yang sudah sedemikian mapan, lawas, dan enggan berubah.

Merujuk pada makna tembang dan komposisi pemain, saya membaca bahwa Ibed sedang memapar sebuah dunia yang hendak kami, pemain dan penonton, masuki: Dunia Jawa. Seseorang yang tengah menari dengan topeng Panji itu seperti menggambarkan dunia ideal bagi masyarakat Jawa: halus, lembut, indah, gagah dan tanpa cela. Sedang seseorang yang bergerak dengan topeng yang tak jelas wujudnya itu adalah gambaran atas dunia bawah di mana yang buruk berkumpul dan menunggu kesempatan untuk muncul dan mengganggu dunia atas. Seseorang itu bergerak-gerak seperti seekor binatang liar. Sementara sang penembang barangkali adalah Dhalang Kandhabuwana, sang Wisnu, yang menjaga keseimbangan, menjadi penengah di antara dua dunia itu.

Di kejauhan suara gender terdengar sayup-sayup.

Tiba-tiba seorang bapak berteriak memanggil-manggil anaknya. Panggilan itu datang dari balik gerumbul semak tak jauh dari gubug yang menjadi pusat perhatian penonton tadi. Lelaki yang semula menari bagai binatang di sebuah kubangan menyahut panggilan itu. Ia adalah anak dari si Bapak yang sedang membajak sawah. Penonton bergerak mengikuti perpindahan si bocah. Kami meninggalkan ruang pertama dan memasuki ruang kedua: sesemakan. Kru menerangi area sesemakan itu dengan lampu-lampu senter. Obor yang mengelilingi gubug telah dimatikan.

Sebuah adegan di sepetak sawah, atau ladang, atau sebangsanya. Si Bapak meminta si Anak membantunya mencari rumput. Lewat percakapan mereka berdua penonton diajak untuk memasuki dunia yang lain: Petani-petani Jawa yang miskin. Penggarap sawah yang tak punya sawah sendiri. Dan upah yang tak bisa untuk menutup kebutuhan hidup.

Si Bapak memarahi sambil menasehati anaknya untuk bekerja dengan keras. Jangan hanya latihan menari saja. Seluruh percakapan dalam adegan itu berlangsung dalam bahasa Jawa. Demikian pula nanti adegan-adegan selanjutnya. Lalu hari beranjak petang, Bapak dan si Anak pulang ke rumah. Gelap. Senter-senter dimatikan.

Dan cahaya berpindah ke beranda rumah. Ruang ketiga. Seorang perempuan menyambut kepulangan mereka. Ia rupanya adalah isteri dari si Petani, ibu si Anak. Percakapan berlangsung, menebalkan kesusahan hidup yang mesti mereka lakoni. Bentuk percakapan mereka kadang berubah atau berpindah dari biasa (keseharian) menjadi tak biasa (serupa deklamasi). Bukan hanya intonasi yang berubah tetapi juga gaya bahasa dan gerak tubuh mereka. Sepanjang percakapan suami istri tersebut si Anak kembali asik dengan topengnya.

Di tengah-tengah percakapan si Bapak mengabarkan bahwa mereka akan segera berangkat transmigrasi ke Kalimantan. Urusan administrasi sudah beres: tinggal ditok stempel dari pengurus di kelurahan. Si Anak terkejut. Ia marah dan tak mau pindah. Ia tak bisa membayangkan dunia baru yang mesti dimasukinya. Sekolah baru, teman baru dan hidup yang baru. Si Anak menolak. Ia sedang asik berlatih tari topeng. Ia tak mau meninggalkannya. Tapi akhirnya setelah dibujuk, si Anak mau mengikuti keinginan orangtuanya. Gelap. Ruang berpindah lagi.

Halaman rumah. Ruang keempat. Pak Kadus berpidato mewakili keluarga Pak Jumadi yang hendak pindah ke Kalimantan itu. Di adegan ini dengan cerdik Ibed mengedarkan kotak sumbangan untuk uang saku keluarga Pak Jumadi—yang sejatinya adalah saweran menonton pertunjukan Panji Amabar Pasir. Adegan yang singkat dan cair itu menurut saya adalah salah satu adegan yang kuat. Tiba-tiba penonton disapa dan karenanya terasa berada dalam satu ruangan. Tiba-tiba penonton menjadi tetangga-tetangga Pak Jumadi yang hendak pergi. Lalu berangkat keluarga Pak Jumadi itu. Kami mengiring di belakangnya. Adegan antara yang sederhana tapi membetot. Penonton yang berjumlah sekitar 50-an orang tersebut mengikuti perjalanan keluarga petani miskin itu, seperti melepas kawan lama.

Ruang kelima adalah sebuah tanah lapang. Pak Jumadi berterimakasih telah diantar oleh para tetangganya menuju tanah harapan: Bumi Kalimantan. Peristiwa berjarak lagi. Pemain dan penonton kembali ditegaskan. Kita menyaksikan betapa Pak Jumadi dan keluarga begitu bahagia. Dengan semangat bekerja keras mereka akan menyongsong masa depan yang lebih baik. Gelap.

Cahaya ada di kejauhan. Di hamparan sawah yang luas. Ruang keenam. Seseorang berkostum merah dan mengenakan topeng bergerak pelan di tengah sawah. Ia mengembang sebuah payung kertas. Di sisi yang lain seseorang bertopeng Panji bergerak pelan menyeret sebuah layar/jaring raksasa. Cahaya biru mengikuti punggungnya. Ia bergerak melintasi sawah yang luas. Suara tembang kembali mengalun lewat megaphone.

Cahaya berpindah lagi. Ruang ketujuh. Gubug tempat keluarga Pak Tani bermukim di tanah yang dijanjikan di Kalimantan. Mereka bertiga babat alas. Lewat gerakan sederhana yang rampak, bersenjatakan kelewang, mereka menebas rumputan yang tinggi. Hingga berhenti. Kelelahan. Tanah Kalimantan begitu keras. Tak seperti tanah di Jawa. Mimpi mereka mulai goyah. Tapi Pak Jumadi mencoba tak menyerah. Ia terus melangkah menapaki dunianya yang baru. Isterinya berdiri di atas bahunya. Mereka melintasi pematang. Sebuah ruang antara tercipta kembali.

Di hamparan sawah sang Panji kembali muncul. Seperti bayang-bayang atas sebuah hidup yang bahagia. Dunia yang diimpikan Pak Jumadi dan keluarganya.

Rombongan grasak, semacam raksasa-raksasa perusak, menari-nari, menghancurkan tanah garapan Pak Tani. Ruang kedelapan. Jerit keputusasaan terdengar. Pak Jumadi meratapi kehancurannya. Tapi ia belum menyerah sepenuhnya. Dengan memanggul gubug-nya ia bergerak. Menuju Utara. Barangkali di sana masih ada harapan. Barangkali di sana Raden Panji akan bertemu dengan kekasih yang dicarinya.

Di pendapa, ruang kesembilan, Lelaki yang menembang di awal pertunjukan kembali menembang di tengah pendapa.

Ngambara ing awang-awang
Angelangut bebasan tanpa tepi
Nerabasing mega mendhung
Ngubeng ngideri jagad
Ngulamdara nglembara ngunggahi gunung
Ketungkul ngumbar gagasan
Satemah digawa ngimpi


(Mengembara di awang-awang
Sepi seperti tanpa tepi
Menerabas mendung
Memutari jagat raya
Mengembara mendaki gunung
Terlampau asik menghayal
Hingga terbawa mimpi)

Lelaki yang menari Panji berada di sana. Menari. Entah menarikan apa. Si Bocah kembali bermain dengan topengnya. Lalu berlari pergi. Dari atas tangga sosok penari topeng berbaju merah masuk dan berinteraksi dengan penari Panji. Mungkin ia adalah Sekartaji yang coba dihindarinya. Atau malah Anggraeni yang diburunya. Ada semacam pergumulan di sana. Lalu kedua berlari masuk ke dalam kamar. Ada jeritan panjang. Sang Panji keluar dari kamar. Selesai. Perjalanan yang berdurasi lebih dari satu jam itu pun berakhir.

Di luar peristiwa-peristiwa yang saya catat tersebut masih ada beberapa peristiwa kecil lain seperti tarian Panji di wuwungan rumah. Peristiwa antara. Yang menyusup ke dalam peristiwa-peristiwa utama. Juga lelaki-lelaki pohon yang sesekali muncul sebagai latar peristiwa.

Panji Amabar Pasir Sebagai Ruang Singgah
Sebagaimana ternyatakan dalam buku acara pertunjukan, Ibed Surgana Yuga dan Kalanari Theatre Movement menjadikan proses dan pertunjukan Panji Amabar Pasir ini sebagai sebuah ruang singgah bagi perjalanan panjang dalam menyusuri kelana cerita Panji. Lewat persinggahan ini mereka mencoba menemukan simpul dari rentang benang-benang yang berpangkal pada sejarah penyebaran cerita Panji, narasi transmigrasi dan arsitektur ruang Omahkebon—sebuah guest house yang belum rampung.

Pada persinggahan sebelumnya mereka telah menelisik titik temu Panji dengan budaya ruwatan di Jawa, Bali dan Indramayu melalui lakon Topeng Ruwat (2012).

Apa yang saya saksikan malam itu, Jumat, 29 November 2013, memang adalah serangkaian peristiwa yang berpijak pada cerita Panji (lewat elemen topeng dan narasi), kisah Pak Jumadi yang berangkat transmigrasi, dan ruang arsitektur Omahkebon. Peristiwa tumbuh atau seolah tumbuh dalam jejalin tiga teks tersebut. Sebuah karya yang menantang: bagaimana menautkan cerita Panji atau persebaran cerita Panji dan kisah Pak Jumadi beserta keluarganya di tanah perantauan. Dan bagaimana ruang mengkerangkai pertautan kedua kisah itu. Dan jangan lupa ruang pun punya narasinya sendiri yang tak bisa kita abaikan begitu saja.

Ibed dan Kalanari Theatre Movement sepanjang bulan November 2013 bertarung dan bertaruh menautkan, menjajarkan dan menaklukkan ketiga teks yang sama kuatnya itu. Dan hasilnya telah sama-sama disaksikan oleh penonton yang datang pada 2 malam pertunjukan yang mereka gelar, 29-30 November 2013, di Omahkebon Guest House. Kami, penonton, diajak untuk melihat persinggahan mereka. Jadi yang kami saksikan malam itu adalah sebuah bagian kecil dari satu perjalanan panjang yang tengah mereka tempuh. Dengan melihat kerangka besar itulah saya menulis catatan ini. Catatan dari ruang singgah.

Beberapa Catatan dari Ruang Singgah Itu
 

Cerita Panji yang Samar
Cerita Panji, seturut Kitab Jayakusuma dan Serat Babad Kadhiri yang saya rujuk, adalah sebuah kisah dengan latar Kerajaan Daha (Kediri) dan Jenggala. Tersebutlah putra mahkota Jenggala yang bernama Panji Kudarawisrengga atau Inu Kertapati hendak dijodohkan dengan putri dari Kediri yakni Dewi Sekartaji. Perjodohan ini diharapkan bisa semakin memperkuat persahabatan dan kekerabatan antara Prabu Lembu Amiluhur dari Jenggala dan Prabu Lembu Amerdadu. Tapi perkawinan antara keduanya dipenuhi dengan segala macam hambatan. Kisah dari Babad Kadhiri ini menjadi sebuah epik yang panjang dan kuat. Kisah ini berkembang dan diturunkan dalam berbagai varian. Kisah ini bahkan menyebar ke berbagai tempat di Asia Tenggara.

Persebaran cerita inilah yang menarik bagi Ibed dan Kalanari Theatre Movement sebagaimana dinyatakannya dalam pengantar pertunjukan:

Titik awal keberangkatan Panji Amabar Pasir adalah dunia kembara, kelana, jelajah, migrasi. Yang menarik bagi kami adalah pengembaraan tokoh Panji yang linier dengan penyebaran (baca: kelana) kebudayaan Panji di Nusantara dan Asia Tenggara. Tokoh dalam cerita dan ceritanya berkelana dan simpulnya ada pada laut. Laut bukan batas, namun jalan. Ini hal yang menarik bagi Panji yang lahir dari rahim peradaban agraris dan bukan maritim. Dengan kata lain, kelana Panji adalah suatu laku amabar pasir, membentang, menguraikan, membeberkan lautan sebagai bentangan jalan atau kisah atau peristiwa untuk menuju lapisan-lapisan dunia selanjutnya.

Sebenarnya tak cukup mengherankan jika kisah Panji ini tersebar ke beberapa tempat di Nusantara dan Asia Tenggara mengingat kerajaan Kediri dan Jenggala berada di tepi Sungai Brantas yang begitu besar dan menjadi jalan bagi pertemuan berbagai budaya. Diceritakan dalam Serat Babad Kadhiri bahwa Sungai Brantas lima kali lebih luas dari saat serat tersebut awal ditulis oleh Mas Ngabei Purbawidjaja pada tahun1832. Diyakini bahwa kedua kerajaan tersebut tentu memiliki bandar yang besar tempat berlabuhnya kapal-kapal perdagangan.

Saya masih belum bisa menangkap sepenuhnya apa yang sebenarnya Ibed maksudkan dengan amabar pasir, terutama bagian terakhir yang saya kutip di atas: Dengan kata lain, kelana Panji adalah suatu laku amabar pasir, membentang, menguraikan, membeberkan lautan sebagai bentangan jalan atau kisah atau peristiwa untuk menuju lapisan-lapisan dunia selanjutnya.

Seturut bacaan saya kelana Panji adalah sebuah laku pelarian, upaya Panji Asmarabangun, nama lain dari Panji Inu Kertapati, menghindar dari jodoh yang telah ditetapkan orangtuanya, yaitu Dewi Sekartaji. Ia menolak perjodohan berbau politik itu. Ia ingin mencari cintanya yang sejati. Maka bertemulah ia dengan Dewi Anggraeni, putri dari Jenggala. Maka nekat menikahlah ia dengan perempuan tersebut hingga sebuah tragedi pun terjadi: Dewi Anggraeni dibunuh demi perkawinan agung dua kerajaan tersebut. Semenjak itu mengembaralah sang Panji menuruti kata hatinya.

Barangkali kisah pengembaraan Panji Inu Kertapati ini bisa disejajarkan dengan kisah kepergian Pak Jumadi meninggalkan Pulau Jawa, mencari harapan baru di pulau Kalimantan. Mereka sama-sama pergi. Bagi penonton awam tentu cukup sulit untuk melihat penjajaran ini. Saya pun demikian halnya, sebab saya tak menangkap kisah Panji dengan jelas, selain penggunaan topeng Panji, juga lewat beberapa penggal dialog. Panji masih sekadar topeng dalam pertunjukan ini.

Pak Jumadi, Transmigrasi dan Kemiskinan yang Memaksanya Pergi
Pak Jumadi adalah sebuah kegagalan. Ia petani miskin yang tak punya sawah. Ia hidup dari mengerjakan sawah orang lain. Mburuh, istilah Jawanya. Buruh garap. Dan ketika panenan semakin tak menentu, karena musim, jenis padi, dan juga lahan garap yang semakin sempit, Pak Jumadi dan orang-orang sepertinya terpuruk dalam lingkaran kemiskinan yang seolah tak bisa diputusnya. Satu-satunya cara adalah meninggalkan dunia pertanian. Tapi Pak Jumadi tak punya keahlian lain selain bertani. Maka program transmigrasi yang ditawarkan pemerintah adalah jalan keluar. Dengan mengikuti program itu ia akan mendapatkan lahan garap. Dan itu adalah miliknya sendiri.

Transmigrasi (trans - seberang, migrare - pindah) adalah suatu program yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk (kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia. Tujuan resmi program ini adalah untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di Pulau Jawa, memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau-pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Kritik mengatakan bahwa pemerintah Indonesia berupaya memanfaatkan para transmigran untuk menggantikan populasi lokal, dan untuk melemahkan gerakan separatis lokal. Program ini beberapa kali menyebabkan persengketaan dan percekcokan, termasuk juga bentrokan antara pendatang dan penduduk asli setempat. Di sisi lain program ini juga membuat persebaran dan percampuran budaya.

Mewujudkan mimpi di tanah baru, tanah yang asing, bukanlah hal yang mudah. Apalagi tingkat kesuburan tanah sungguh berbeda dengan tanah di Pulau Jawa yang kaya akan gunung berapi yang karenanya membuat tanah sangat subur.

Dalam kisah Panji Amabar Pasir, Pak Jumadi dan keluarganya kalah. Dan kemudian berpindah. Entah ke mana, mencari tanah yang bisa memuliakannya.

Kisah Pak Jumadi adalah kisah yang paling tegas dan terang dalam Panji Amabar Pasir. Penonton yang tak memiliki referensi tentang kisah Panji akan lebih terikat dengan kisah Pak Jumadi si transmigran yang gagal ini. Peristiwa demi peristiwa menggiring penonton untuk mengikuti kisahnya. Kisah Panji hanya muncul bagai lintasan-lintasan. Di beberapa tempat masih jatuh sebagai ornamen artistik belaka.

Ruang sebagai Rahim Peristiwa
Sebermula adalah ruang kosong. Selanjutnya ada seseorang melintas. Dan seorang lain menyaksikannya. Demikian Peter Brook menggambar dengan sederhana apa yang disebut teater. Tanpa ruang peristiwa tak memiliki pijakannya. Ia hanya tinggal sebuah ide. Agar bisa terwujud sebuah ruang dibutuhkan, dan peristiwa baru bisa dilahirkan dari sana: lewat interaksi.

Interaksi antara peristiwa dan ruang menjadi pertaruhan Ibed yang tak mudah, mengingat ruang-ruang yang ia gunakan dalam pertunjukan ini sesungguhnyalah sebuah ruang yang tak diperuntukkan untuk pertunjukan tersebut. Ia bukan ruang teater. Ia sebuah guest house yang tengah dibangun oleh aktor Whani Darmawan dan partner-nya Sondang Rumapea. Ia bukan ruang teater yang bisa dirancang dan disesuaikan dengan peristiwa dalam kepala Ibed. Ia sebuah ruang yang dibangun dengan tujuan tersendiri, menjadi penginapan kecil, dengan latar bentangan sawah yang menyejukkan mata.

Bagi saya Ibed memenangkan pertaruhan ini. Sebagai sebuah site-specific perfomance, pertunjukan ini berhasil. Sejak menggarap lakon Kintir, setahu saya, Ibed begitu terlatih dan terampil dalam memilih ruang dan melahirkan peristiwa dari ruang-ruang itu. Pertunjukan ini membuat seolah guest house separuh jadi itu adalah ruang Panji Amabar Pasir. Saya kira ini adalah potensi yang bisa ditajamkan Ibed di kemudian hari. Tapi tampaknya ia musti mencari strategi artistik yang lain, terutama pencahayaan yang mulai rutin dalam pertunjukan Ibed: senter dan obor. Pengolahan suara (vokal aktor dan musik) juga musti disegarkan lagi. Ibed musti mencari strategi yang lain.

Perihal Bahasa dan Keaktoran
Catatan lain yang musti saya singgung adalah perihal bahasa dan keaktoran. Bahasa Jawa yang mulai kerap digunakan Ibed dalam pertunjukan-pertunjukan mutakhirnya perlu rasanya ditimbang dan digarap lagi. Ditimbang mengingat penonton yang belum tentu menguasai bahasa Jawa. Digarap lagi mengingat dialog-dialog bahasa Jawa yang digunakan oleh para aktornya masih belepotan. Baik dari segi tata bahasa maupun pelisanannya. Masih sering kata-kata yang dipilih tak terlalu tepat. Masih sering tertangkap bahwa aktor-aktor tak piawai berbahasa Jawa.

Di sisi keaktoran saya rasa Andika Ananda yang paling kuat mewujudkan gagasan-gagasan pertunjukan Ibed. Mungkin karena sudah sering bermain dalam karya-karya sebelumnya. Tapi juga karena kemampuan aktingnya yang semakin hari semakin matang. Sedangkan aktor-aktor yang lain masih belum terlalu bisa mewujudkan gagasan-gagasan pertunjukan yang dirancang. Setidaknya Ibed musti menempa aktor-aktornya lebih lama lagi, terutama berkaitan interaksi dengan ruang karena ini menjadi kunci keberhasilan pertunjukan-pertunjukannya.

Epilog
Sebagai penutup saya ingin mengembalikan pada kerangka awal catatan ini saya buat, bahwa ini adalah sebuah catatan atas sebuah persinggahan yang sementara. Saya masih belum melihat secara menyeluruh rentang perjalanan itu.

Sekali lagi, pertunjukan ini hanya ruang singgah sejenak. Sebenarnya ia semacam proses perjalanan, semacam migrasi untuk menuju sesuatu (yang sayang belum kami rumuskan).

Demikian Ibed menutup pertunjukannya. Barangkali ia tak perlu terlalu risau dengan perumusan-perumusan. Perumusan bisa jadi adalah sebuah kerja interaktif antara pelaku, teks, peristiwa, ruang dan juga penonton. Mari kita tunggu persinggahan berikutnya.

Jogjakarta, Desember 2013

Catatan:
Tulisan di atas merupakan hasil pantauan Gunawan Maryanto sebagai pemantau dari Yayasan Kelola terhadap pertunjukan Panji Amabar Pasir yang meraih Hibah Seni Kelola.


Post-post terkait:
Related posts:
“Panji Amabar Pasir” di Omahkebon Guest House
Pengantar Pertunjukan “Panji Amabar Pasir” 

0 komentar