“Topeng Ruwat”: Menggali Nilai Ruwatan Panji

Topeng Ruwat di TMII, 27 Oktober 2012 | Foto: Ari Gunawan
Panji dan Ruwatan
Kisah Panji merupakan lakon penjelajahan, baik dari segi isi cerita maupun sisi historis kisah Panji sendiri. Panji adalah sebuah lakon asli Jawa yang kemudian menyebar dan menjelajah Nusantara dan bahkan hampir seluruh Asia Tenggara. Tanpa kita sadari sekarang, Panji menjadi lakon di bawah sadar kita yang merefleksikan ikatan emosional Nusantara, dan bahkan Asia Tenggara. Panji adalah lakon jelajah tanah dan jelajah air dalam konsep Nusantara.

Dalam konsep Nusantara, yang kita pahami atau kita rasakan sekarang adalah Nusantara yang terdiri dari pulau-pulau yang dikelilingi laut. Daratan atau tanah menjadi yang utama dalam pemahaman ini. Kita jarang memahami Nusantara sebagai lautan yang ditaburi pulau-pulau, sehingga yang utama adalah lautan.

Laut dalam beberapa konsep kebudayaan Nusantara memiliki peran yang penting dalam hal purifikasi, ruwatan. Laut bukan semata fisik hamparan air yang memiliki kedalaman yang tidak bisa kita jangkau, namun laut adalah media pencucian dan penyucian segala mala, reged, dan kotor dari dunia daratan. Di laut kita bisa melarung atau membasuh segala anasir yang berasal dari darat, untuk menjadikannya bersih atau suci kembali: meruwatnya. Dalam budaya agraris Nusantara, laut juga memegang peran siklus kesuburan.

Panji dari segi kisah memang tidak memiliki kualitas ruwatan, sebagaimana cerita Murwakala, Sudamala atau Dewa Ruci. Namun secara historis, Panji sebagai lakon jelajah tanah dan jelajah air, menemukan makna pentingnya dari keberadaan laut, sebagai penghubung ikatan emosional Nusantara—dan juga Asia Tenggara. Di sisi lain, dari segi kisah Panji—dalam beberapa versi, misalnya Hikayat Panji Kuda Semirang—kita menemukan Betara Kala, sosok yang memegang peran penting dalam berbagai cerita tentang ruwatan. Menariknya, Betara Kala dalam Panji “bukan lagi” sebagai tokoh antagonis bagi orang-orang sukerta, namun “telah menjadi” leluhur bagi tokoh-tokoh utama dalam Panji. Dalam Panji kita juga menemukan tokoh Ibu yang berperan mengembalikan—menyucikan kembali—para tokoh jelmaan dewa yang di-kutuk-pastu jadi manusia untuk menjadi dewa lagi.

Konsep Ritus-Artistik, Ruang dan Waktu Pemanggungan
Ritus-pertunjukan ini mengambil tiga unsur kebudayaan topeng yang ada di Nusantara, yaitu topeng Jawa, Indramayu dan Bali. Topeng Jawa dan Indramayu memang memposisikan Panji sebagai lakonnya, sebagai bentuk pengejawantahan budaya Panji di kedua wilayah budaya ini. Sedangkan unsur budaya topeng Bali yang digunakan adalah topeng Sidhakarya, suatu bentuk kesenian topeng yang memang tidak menggunakan kisah Panji, namun memiliki peran yang penting dalam berbagai ritus di Bali, yaitu untuk menyucikan atau mem-paripurna-kan suatu ritus. Makna ruwatan melekat dalam budaya topeng ini.

Ritus-pertunjukan ini dipanggungkan di ruang terbuka, dengan asosiasi menghadirkan langit secara langsung, dan diharapkan pada saat senja hari, sehingga pertengahan pertunjukan diharapkan merupakan saat tepat tenggelamnya matahari (maghrib). Waktu pertunjukan ini berhubungan dengan konsep ruang dan waktu serta karakter ritus, yaitu liminal. (Namun karena kendala penyelenggara, Topeng Ruwat tidak bisa digelar sesuai dengan konsep waktu ini.)


Post-post terkait:
Related posts:
"Topeng Ruwat" di Gelar Budaya Nusantara: Ritus Pangan  

0 komentar